Sejarah Singkat Wirasaba hingga Karesidenan Banyumas
Sejarah Singkat Wirasaba sejak
Era Demak, Pajang, Mataram Islam dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Sebagian
besar wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah mancanegara dari
kerajaan-kerajaan Jawa sejak Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura
hingga Kasunanan Surakarta.1 Daerah ini
dipimpin oleh Adipati suatu sebutan yang lazim digunakan pada masa kerajaan
Demak.2 Setelah perang
Jawa (Perang Diponegoro, tahun 1825-1830), Kadipaten Banyumas dilepaskan dari
kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda tahun 1830.1 Sebelum Belanda
masuk, wilayah Banyumasan disebut sebagai daerah Mancanegara Kulon dengan
rentang wilayah meliputi antara Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo)
sampai Majenang (sekarang masuk wilayah Cilacap).3
Sejarah Singkat
Paguwan-Wirasaba
Pada
zaman Majapahit di daerah Banyumas sudah terdapat suatu pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang adipati atas daerah yang disebut Paguwan. Adipati daerah Paguwan
(yang kelak juga dikenal sebagai Wirasaba) dipimpin oleh Adipati Wirahudaya yang
berkuasa antara tahun 1413-1433.4 Wirahudaya selanjutnya digantikan anak
angkatnya Raden Katuhu bergelar Adipati Anom Wirahutama kelak dikenal sebagai
Adipati Wirahutama I Wirasaba. Raden Katuhu adalah putra R. Baribin yang
menikah dengan Ratna Pamekas. Adipati Wirahutama oleh Madjapahit dijinkan
memperluas wilayah kadipaten sampai ujung timur hingga lereng barat Gunung
Sindoro Sumbing di Wilayah Kedu. Daerah ini dikenal sebagai Kadipaten Wirasaba.5
Kemudian pemerintahan Kadipaten ini diteruskan
secara turun-temuran selama enam generasi adipati meliputi (1) Adipati Wira
Utama (Raden Katuhu), (2) Adipati Urang, (3) Adipati Sutawinata (Surawin), (4)
Adipati Sura Utama (Raden Tambangan),(5) Adipati WargaUtama I, dan (6) Adipati
Warga Utama II (Adipati Mrapat) hingga pada zaman Kesultanan Pajang.4,6
Pada
masa pemerintahan Sultan Pajang I, Hadiwijaya (1546 1582) ini, di Wirasaba
sudah sampai pada masa pemerintahan Adipati Wirasaba VI, yaitu R. Bagus Suwarga
dengan gelar R. Adipati Wargahutama I. Suatu ketika adipati wirasaba mendapat
titah raja agar mempersembahkan salah seorang putrinya untuk di jadikan garwa
ampean Sultan Pajang atau Pelara-lara. Rara Kartiyah dipersembahkan oleh Adipati Wirasaba Rara Kartiyah semasa kecilnya pernah di
jodohkan dengan putra saudaranya yaitu Kyai Gede Toyareka namun berpisah sebelum melakukan kewajiban sebagai
seorang istri.7
Sultan
Hadiwijaya sangat murka setelah menerima pengaduan kyai gede toyareka yang juga
merupakan adik Wargahutama. Selanjutnya diutuslah prajurit (gandek) untuk menyusul adipati
wirasaba dan membunuhnya. Seteleh ki gede toyareka pergi dari pajang, sultan
hadiwijoyo memanggil roro kartiyah meminta penjelasan, mendengar pernyataan
roro kartiyah sultan hadiwijoyo sangat menyesal akan tindakanya tanpa
penelitian, segera di perintahkan patihnya agar menyusul prajurit yang diutus
membunuh adipati wirasaba agar membatalkannya.7
Tidak
lama utusan sultan pajang yang di utus untuk membunuh adipati wirasaba bertemu
dengan adipati wirasaba,ketika itu adipati wirasaba sedang makan , di kediaman
kyai bener, duduk di serabi rumah dengan lauk nasi dan pindang angsa/banyak
pada hari sabtu pahing.7 tidak lama
kemudian utusan patih dari sulatn pajang tiba dan melambaikan tangan, isarat
tersebut di salah artikan dan utusan pertama langsung menusukan tombak ke dada
adipati wirasaba.7
Setelah
kematian Adipati Warga Utama I, Sultan Pajang Adiwijaya segera memanggil putera
Adipati Warga Utama I, namun tidak ada yang berani menghadap. Maka menantu
Adipati yaitu Raden Joko Kaiman (suami R. Rara Kartimah) memberanikan diri
untuk menghadap dengan menanggung apapun segala resikonya. Bukan amarah dan
murka yang di dapat tetapi anugerah dijadikannya Adipati dengan gelar Adipati
Warga Utama II.5 Selanjutnya atas
kemurahan Sultan Pajang akhirnya Wirasaba dibagi menjadi empat yaitu :
1.
Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Ngabei Wirayuda.
2.
Wilayah Merden diberikan kepada Ngabei Wirakusuma.
3.
Wilayah Wirasaba diberikan kepada Ngabei Wargawijaya.
4.
Wilayah Kejawar kemudian dikuasai Adipati Warga Utama II.5
Wilayah
Kejawar kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli kelak diberi nama
Kadipaten Banyumas. Atas pembagian ini maka Adipati Warga Utama II juga
bergelar sebagai Adipati Mrapat.8
Sejarah Singkat Kadipaten
Kejawar- Banjumas
Setelah Adipati Mrapat wafat selanjutnya
kekuasaan digantikan oleh puteranya secara turun temurun. Berturut-turut :
Mertasura I, Mertasura II ( -1620), Mertayuda I (1620 – 1650).8 Tumenggung
Martayudha menurunkan Raden Tumenggung Mertanegara atau Mertayuda II yang
menjadi Adipati Banyumas bergelar Adipati Yudanegara I (1650-1705).9 Kelak Adipati Yudanegara I dikenal sebagai
Tumenggung Yudanegara Seda Masjid pasca dihukum penggal oleh Pakubuwono.
Pengganti Yudanegara I adalah Tumenggung Suradipura (1705 -1707).8
Pada pemerintahan adipati Yudanegara II (1707
– 1743), dipindahkan dari Kejawar ke tempat yang disebut Geger Duren dan
mendirikan Pendopo Si Panji pada tahun 1706. Pedukuhan yang bernama Geger Duren
atau punggung durian karena tempat itu merupakan lembah yang diapit dua gunung
yang berada sebelah timur Dusun Menganti (Banyumas sekarang ini).10
Banyumas lama kini menjadi Dusun Karangkamal.4 Kelak
Adipati Yudanegara II dikenal sebagai Tumenggung Yudanegara Seda Pendapa.
Yudanegara
II digantikan oleh Tumenggung Reksapraja
(1742 -1749).8 Bagus
Kunting selanjutnya menggantikan Reksapraja dan bergelar Adipati Yudanegara
III. Yudanegara III turut serta dalam
Perang Mangkubumen di pihak Paku Buwono. Setelah perjanjian Giyanti 1755
Yudanegara III diangkat menjadi Patih mendampingi Hamengku Buwono I dan
bergelar Danureja.11
Yudanegara IV menggantiikan posisi yang
ditinggalkan Yudanegara III. Karena dicurigai akan memberontak Yudanegara IV
dipecat dari jabatanya dan digantikan Tumenggung Toyakusuma dari Surakarta.11 Sumber
lain menyebut Tejakusuma atau Tumenggung
Kemong yang memerintah tahun1780 -1788.8 Nasib
yang sama juga dialami oleh Yudanegara V (1788 – 1816). Yudanegara V dipecat
oleh PB IV atas tuntutan Raffles. 8,12,13
Pasca
pemecatan Yudhanegara V terjadi
kekosongan kekuasaan di Kadipaten Banyumas, sehingga pada tahun 1816
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang kembali menguasai Nusantara setelah
pemerintahan transisi Inggris. Pada tahun 1816 wilayah Banyumas dibagi menjadi
dua yaitu Kasepuhan dan Kanoman.13 Cakrawedana ditunjuk memimpin Kasepuhan dan Mertadiredja I
memimpin Kanoman.12
Sejarah Singkat Kadipaten
Kasepuhan dan Kanoman
Untuk
mempermudah pemahaman sejarah penulisan bagian ini diawali dari sejarah Kanoman
Banyumas dilanjutkan sejarah kasepuhan Banyumas dan diakhiri penggabungan kedua
wilayah tersebut. Dikutip dari Priyadi (2008), Banyumas sebagai daerah
mancanegara kilen diambil alih oleh Pemerintah Belanda setelah Perang
Mangkubumi dan dibentuk Karesidenan
Banyumas. Kasepuhan dan Kanoman yang dipimpin oleh dua pejabat wedana bupati.14 Kasepuhan
Banyumas beribukota di Banyumas diserahkan kepada Tumenggung Cakrawedana
(1816-1830) dari Surakarta sebagai Wedana Bupati. Kanoman Banyumas yang
beribukota di Patikraja dengan Bratadiningrat sebagai Wedana Bupati yang
kemudian bergelar Adipati Mertadireja I (1816-1830).13
Setelah
Mertadireja I wafat, ditunjuklah Mertadireja II sebagai Wedana Bupati Banyumas
Kanoman di Patikraja dari 1830-1831 dengan gelar K.P.A. Mertadireja II. Beliau
kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kanoman dari Patikraja ke Ajibarang
(1831-1832).13 Ajibarang
pada akhir Perang Jawa dipimpin oleh Tumenggung Djayasinga yang dikenal juga dengan nama Singadipa. Singadipa
adalah orang Banyumas yang menjadi anak buah Pangeran Diponegoro. 14
Pemerintahan
di Ajibarang hanya berlangsung dari tanggal 22 Agustus 1831 hingga 6 Oktober
1832.14 Karena adanya
bencana angin topan selama 40 hari 40 malam ibu kota Kabupaten Ajibarang
dipindahkan ke desa Paguwon distrik Purwokerto.14 Pemindahan yang
kedua ini mengganti nama Kadipaten Kanoman Banyumas menjadi Kabupaten
Purwokerto.13
Sepeninggal
K.P.A. Mertadireja II, untuk sementara ditunjuk menantunya, Tumenggung Djayadiredja
(1853-1860). Tahun 1860 beliau dipindah ke Padang. Sehingga jabatan Bupati
Purwokerto dijabat oleh putera K.P.A. Mertadiredja II, yaitu K.P.A. Mertadiredja
III (1860-1879)13 yang kelak setelah
dipindahkan ke kabupaten Banyumas dikenal sebagai K.P.A. Aria Gandasubrata.13 Tumenggung Cokrosaputro
adik Cokronegoro II mantan bupati Banyumas menggantikan untuk memimpin
kabupaten Purwokerto pada tahun 1879 – 1882. Selanjutnya tahun 1882 jabatan
bupati Purwokerto kosong hingga tahun 1885. Kekosongan jabatan Kabupaten
Purwokerto sementara diisi oleh Patih Wiraatmadja.14
Raden
Mas Tumenggung Cakrakusuma putra Cakranegara II mengisi jabatan pada tahun 1885
– 1905. Selanjutnya Tumenggung Cakranegara III yang merupakan adik Cakrasaputra
mengisi jabatan pada tahun1905 – 1920.14 Kabupaten Purwokerto terakhir dipimpin R.A.A.
Cakraadisurya (1924-1935).13 Cakraadisurya
adalah putra Raden Cakranegara yang sebelumnya menjabat bupati Ponorogo,14
Kasepuhan
Banyumas yang diawali dengan kepemimpinan
Cakrawedana sejak tahun 1816 dan berakhir di tahun 1830 setelah Perang
Diponegoro.13 Cakrawedana
selanjutnya digantikan oleh R. Adipati Cokronegara I (1832- 1864).8 Cakranegara II
memimpin Kabupaten Banyumas pada tahun 1864-1879. Cakranegara II digantikan
oleh Martadiredja II yang sebelumnya menjabat Bupati Purwokerto. Martadiredja
III menjabat di Kabupaten Banyumas pada tahun 1879-1913 dan selanjutnya bergelar
K.P.A.A. Gandasubrata.11
Karena
alasan memasuki masa pensiun Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengangkat
putera Gandasubrata yaitu Sudjiman Mertasubrata Gandasubrata sebagai Bupati
Banyumas. Sudjiman Mertasubrata Gandasubrata saat itu sedang menjabat sebagain
Patih di Kabupaten Kendal. Pada tahun 1939, oleh pemerintah Belanda gelarnya
ditambah menjadi ‘Adipati’ sehingga namanya menjadi, R. Adipati Sudjiman
Mertasubrata Gandasubrata mendampingi Residen Banyumas Mr. J. Ruys.13
Pada
tanggal 1 Januari 1936 Kabupaten Purwokerto dihapus dan digabung ke dalam
Kabupaten Banyumas. Selanjutnya bukota Kabupaten Banyumas ditetapkan di
Purwokerto. Sedangkan Banyumas ditetapkan sebagai ibukota Karesidenan Banyumas
untuk sementara karena di kota Purwokerto belum ada fasilitas untuk kantor karesidenan
dan rumah dinas residen.13
Sejarah Singkat Banjar
Pertambakan, Banjar Watulembu hingga Banjarnegara
Pada
pemerintahan Yudanegara I, Ngabei Banyakwide di angkat menjadi Kliwon Banyumas
yang selanjutnya ditugaskan di Banjar Pertambakan. Sumber lain menyebutkan
bahwa Banyakwide adalah Adipati Banjar Petambakan I sesudah pemerintahan Ngabei
Wirayuda.9
Banyakwide
mempunyai putra: 1. Kyai Ngabei Mangunyuda. 2. R. Kenthol Kertayudha. 3. R.
Bagus Brata. 4. Mas Ajeng Basiah.9 Mangunyudha
menggantikan ayahnya dan menjadi Adipati Banjar Pertambakan dengan gelar Adipati
Mangunyudha I dan di kenal sebagai Mangunyuda Sedaloji karena gugur di
Loji Belanda Kertosuro pada peristiwa
Geger Pecinan (1743).15 Mangunyudha I
dimakamkan di Banjar Petambakan. Mangunyudha I digantikan oleh adiknya R.
Kenthol Kertayudha dengan Gelar Hadipati Mangunyudha II. Seperti tertulis dalam
Fauziah (2012), pada kepemimpinan Mangunyudha II pusat pemerintahan dipindahkan ke Banjar Watu
Lembu (sekarang Banjarmangu).9
Mangunyuda
II juga dikenal sebagai Tumenggung Kertanegara III atau Mangunyuda Mukti. Mangunyudha
II digantikan oleh puteranya, Ngabei Mangunyudo III yang kemudian berganti nama
menjadi Ngabei Mangunbroto. 16 Setelah perang
Diponegoro Kabupaten Banjar Watulembu diturunkan statusnya menjadi Distrik. Pada
tahun 1831 Mangunbrata ditemukan meninggal dunia secara tidak wajar, yaitu
bunuh diri dengan cara menusuk perutnya. Ngabei Mangunsubrata putra Mangunbrata
dan Ngabei Ranudireja selanjutnya memimpin Distrik Banjar sebagai dua penguasa.16
Dalam
perang Diponegoro, Ngabei Dipayudha putra Dipayuda Seda Benda yang saat itu
menjadi ngabei Ayah distrik Adireja karena jasanya di usulkan kepada Susuhunan
Paku Buwana ke VII untuk ditetapkan mengisi Jabatan Banjar Watulembu (yang
berkedudukan di Banjarmangu) yang telah di hapus statusnya. Resolutie Governuer
General Buitenzorg tanggal 22 Agustus 1831 Nomor I, mengangkat Ngabei Dipayuda
yang selanjutnya bergelar R.T. Dipayudha IV.9 Dalam tulisan Priyadi (2006), Mas Kadirman
(nama kecil dari Dipayuda IV atau Dipayuda Banjarnegara) adalah putra Ngabehi
Dipawidjaya yang menikah dengan putri Dipayuda II Seda Banda.17 Dipawijaya (nama
kecil Bagus Gugu setelah pensiun dikenal sebagai Dipamenggala) adalah anak
bungsu Dipayuda I Seda Jenar.10 Ngabehi Dipadiwirya seorang Demang di Ngayah-Adireja juga adik Dipayuda IV selanjutnya diangkat
menjadi Patih Banjar Watulembu.18
Pada
era Dipayudha IV ini pusat pemerintahan dipindahkan ke Selatan Sungai Serayu di
daerah pesawahan yang cukup lebar (Banjar) dan di namakan Banjarnegara (Banjar= sawah; Negara= kota).9 Dipayuda IV
menjabat Bupati sampai tahun 1846 kemudian diangkatlah Raden Adipati
Dipadiningrat sebagai penggantinya.16 Dipadiningrat memerintah hingga pensiun tahun
1878, setelah itu digantikan oleh Mas Ngabehi Atmadipura Patih Kabupaten
Purworejo yang setelah menjadi bupati di Banjarnegara bergelar Tumenggung
Jayanegara I. Pada saat ia memerintah, pada tahun 1884 sistem irigasi modern
pertama di bangun di Banjarnegara dan diberi nama irigasi Singamerta.16
Sejarah Singkat Merden,
Onje, Prabalingga hingga Purbalingga
Daerah
Merden (wilayah ex Kawedanan Purworejo Klampok) ini pernah menjadi bagian dari
Kadipaten Wirasaba sebelum dibagi empat pada kepemimpinan Wargahutama. Selanjutnya
daerah Merden dipimpin Wira Kusuma putra
ke 2 Wargahutama I. Wira Kusuma juga dikenal sebagai oleh Ki Gede Senon sehingga
pada versi lain nama Merden juga dikenal sebagai Senon. Tidak ada catatan
sejarah yang lengkap sehingga pembahasan merden tidak bisa mendalam. Menurut sumber
yang ada di era Yudanegara III diangkatlah Bagus Demang sebagai Ngabehi Merden.
Bagus Demang masih terhitung sebagai adik Yudanegara III. Sumber lain juga menyebutkan
Bagus Luwar putra Dipayuda Seda Jenar setelah dewasa bernama Kertayuda mendapat
kedudukan di Marden.17 Kertayuda
meninggal di era Dipayuda III. Merden selanjutnya di bawah kepemimpinan
Tumenggung Karang Lewas hingga terbentuknya Kabupaten Purbalingga. Dan di tahun
1936, distrik Purwareja-Klampok (Wilayah Merden) dimasukkan ke dalam wilayah
Kabupaten Banjarnegara.
Wisnandari
(2007) dalam karangan ilmiahnya menyebutkan tentang pengangkatan Ki Ageng
Ore-ore sebagai Adipati Onje pertama oleh Sultan Pajang Hadiwijaya dan daerah
Onje
(sekarang terletak di daerah Kecamatan Mrebet). Dalam telaah yang sama
disebutkan selain diangkat menjadi Adipati Onje juga mendapatkan istri dan
punakawan. Putra Adipati Onje bernama Wiraguna dari istri yang berasal dari
daerah Onje diangkat sebagai Patih Onje.19 Selanjutnya setelah wafatnya Adipati Onje I
putra tiri dari istri yang berasal dari Pajang menggantikan sebagai Adipati
Onje II atau dikenal sebagai Adipati Anyakrapati.19 Catatan lain juga
menyebutkan di akhir Perang mangkubumi, Kadipaten Onje yang dibawah kekuasaan
Surakarta selanjutnya dijadikan perdikan dibawah Merden oleh PB I. Pada saat itu yang memimpin Merden adalah Ngabei
Dhenok. Menurut Priyadi (2006) Ngabei Denok adalah Ngabehi Dipayuda I.20 Namun versi lain
menyebutkan Ngabehi Denok adalah Bagus Demang sedangkan Dipayuda I memimpin
daerah Karang Lewas. Bagus Demang dan Dipayuda I adalah anak dari Yudanegara
II. Dari daftar silsilah yang dimiliki penulis, Yudanegara III, Bagus Demang
dan Dipayuda I adalah kakak beradik beda Ibu. Onje, Merden dan Karang Lewas diduga
berada di bawah pemerintahan Banyumas yang dipimpin Yudanegara III. Onje,
Merden dan Karang Lewas menjadi wilayah Banyumas terjadi diduga sejak era
Yudabangsa (Yudanegara I).
Adipati
Onje II memiliki putra bernama Arsakusuma kelak dewasa bernama Arsantaka. Arsantaka
menikahi 2 orang perempuan. Istri pertama berasal dari daerah merden dikenal
sebagai Nyai Merden dan istri kedua bernama berasal dari daerah Kedung lumbu
dikenal sebagai Nyai Kedung Lumbu.
Arsantaka
menjadi demang di Kademangan Pagendolan (sekarang desa Masaran), suatu wilayah
yang masih berada dibawah Karanglewas (sekarang kecamatan Kutasari,
Purbalingga) yang dipimpin oleh Dipayuda I pada kurun waktu 1740 – 1760.16 Dalam perang
jenar, Arsantaka berada didalam pasukan kadipaten Banyumas yang membela Paku
Buwono.
Kedudukan
Dipayuda I selanjutnya digantikan putera dari Tumenggung Yudanegara III dengan
gelar Tumenggung Dipayuda II. Atas
jasanya menemukan jenazah Dipayuda I dalam Perang Jenar oleh Raden Tumenggung
Yudanegara III kemudian diangkat menjadi Umbul Demang
(kepala demang). Yudanegara III juga mengambil menantu putera Arsantaka dari
istri pertama yaitu Arsayuda. 21 Bahkan Arsayuda
anak Arsantaka diangkat menjadi Patih Karanglewas mendampingi Dipayuda II.20
Karena
sakit-sakitan, Raden Tumenggung Dipayuda II, tidak lama menjabat Ngabehi
Karanglewas (tahun 1755-1758).21 Kelak Dipayuda II
dikenal sebagai Dipayuda Seda Benda. Patih Arsayuda diangkat sebagai pengganti
Dipayuda II sebagai Tumenggung Karanglewas dengan bergelar Dipayuda III
(1759-1787). Pada era Dipayuda III pusat pemerintahan dipindah dari Karanglewas
ke desa Prabalingga. 16 Dipayuda III
menjadi pemimpin daerah yang kelak dikenal sebagai Purbalingga. Putera Arsantaka
dari istri kedua yaitu Mas Candrawijaya kemudian hari diangkat menjadi Patih Purbalingga.
Dipayuda III digantikan Ngabehi Yudakusuma putra Yudanegara IV sebagai
pejabat sementara (1787-1792). Selanjutnya pemerintahan digantikan putra
Dipayuda III dari garwa selir yaitu Tumenggung Dipakusuma I. Dipakusuma I
diangkat dan menjabat pada tahun 1792-1811. Dipakusuma digantikan Tumenggung
Bratasudira pada tahun 1811-1831. Bratasudira adalah putra Dipakusuma I yang
juga dikenal sebagai Danakusuma.
Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Tumenggung Dipakusuma II
diangkat yang menjabat pada kurun waktu 1831-1846. Selanjutnya berturut turut
digantikan oleh Dipakusuma IV (1868-1883) dan Dipakusuma V atau dikenal sebagai
Kanjeng Candiwulan (1883-1899). Dipakusuma V
digantikan oleh Tumenggung Dipakusuma VI yang menjabat pada tahun 1899-1925.
Era Karesidenan Banyumas dan
Transisi Dayeuh Luhur menjadi Cilacap
Perang
Jawa atau dikenal dengan Perang Diponegoro (1825-1830) menyebabkan terjadinya
perubahan hubungan patron-klien dari kekuasaan Mataram (Surakarta) beralih
ketangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.22 Terhitung sejak 22 Juni 1830 daerah mancanegara
Kulon ini secara politis masuk di bawah control pemerintah kolonial
Hindia-Belanda.23 Peningkatan status
Banyumas dari Kadipaten menjadi Karesidenan telah membuat perubahan dalam
sistem perpolitikan Banyumas dimana sebelumnya bupati menjadi penguasa
tertinggi di kadipaten berganti menjadi residen yang dibantu oleh asisten
residen yang dijabat oleh Bangsa Belanda.13
Pemerintahan
di wilayah Banyumas diatur berdasarkan Konstitusi Nederland yang pada pasal 62
ayat 2 disebutkan bahwa pemerintahan umum di Hindia Belanda dilakukan oleh
Gubernur Jenderal atas nama kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal adalah kepala
eksekutif yang berhak mengangkat serta memberhentikan para pejabat di Hindia
Belanda, termasuk para Adipatinya.3 Gubernur Jenderal
Johannes Graaf van den Bosch (1830-1833) membuat surat keputusan berupa rencana
pembentukan Karesidenan, afdeeling, dan kabupaten di Karesidenan Banyumas
tertanggal 18 Desember 1830 yang hanya menyebut empat kabupaten, yaitu Banjoemas
(Banyumas), Adji-Baran (Ajibarang), Daijoe-Loehoer (Dayeuhluhur), dan Prabalingga
(Purbalingga).14
Karesidenan
Banyumas diperluas dengan memasukkan Distrik Karang Kobar, Pulau Nusa
Kambangan, Madura (sebelumnya masuk wilayah Cirebon) dan karangsari (sebelumnya
masuk wilayah Tegal).23
Kemudian
dengan adanya Resolutie Governuer General Buitenzorg tanggal 22 Agustus 1831
Nomor I salah satunya tentang pembentukan Kabupaten Banjarnegara, Struktur
pemerintahan di wilayah Banyumas mengalami perubahan dan perombakan secara
total. Wilayah Banyumas dibagi menjadi lima kabupaten dan saat itulah
dimulainya jabatan Residen dan Asisten Residen yang dijabat oleh orang Belanda
di Banyumas 22 Resolutie van den
22 Agustus 1831, No.1 telah diangkat 5 orang pejabat bupati di Karesidenan
Banyumas, yakni (1) Ngabehi Cakranegara dari Purwokerto diangkat menjadi bupati
Banyumas, (2) Raden Tumenggung Mertadiredja II, Wedana Bupati Kanoman Banyumas diangkat
menjadi Bupati Ajibarang, (3) Ngabehi Dipayuda dari Ngayah diangkat menjadi
Bupati Banjarnegara, (4) Tumenggung Prawiranegara tetap di Dayeuhluhur, dan (5)
Tumenggung Dipakusuma tetap di Purbalingga.14
Karena
dianggap memihak P. Diponegoro Tumenggung Prawiranegara dipecat dari
kedudukannya dan kemudian dibuang ke Pulau Banda. Sesuai dengan surat Asisten
Residen Ajibarang pada tanggal 24 Oktober 1831 no 184, Bupati Ajibarang diberi
kuasa Kabupaten Dayu-Luhur. Lowongan jabatan Bupati Dayu-Luhur ditiadakan
sehingga Kabupaten Dayu Luhur bersama Kabupaten Ajibarang merupakan satu
Afdeling Ajibarang dengan ibukota Ajibarang. Kabupaten Dayu-Luhur yang baru 2
bulan dikukuhkan, merosot statusnya menjadi Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur.24 Pada tahun 1832
terjadi pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Ajibarang ke distrik Purwokerto
yang selanjutnya disebut sebagai Kabupaten Purwokerto.13
Pada
tahun 1841 Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur dipisahkan dari Kabupaten
Purwokerto dan Distrik Adireja dipisahkan dari Kabupaten Banyumas, dan
dijadikan satu Afdeling tersendiri yaitu Afdeling Cilacap dengan ibukota
Cilacap.24 Selanjutnya dalam Staatblad No.113 tahun 1883 Regentie Banjoemas (Karesidenan
banyumas) terdiri dari regentschap/
afdeling sebagai berikut : 1. Banjoemas (Banyumas), 2. Poerwakerta
(Purwokerto), 3. Poerbalingga (Purbalingga), 4. Bandjarnegara (Banjarnegara)
dan 5. CilaCap(Cilacap).
Pada
tanggal 1 Januari 1936 wilayah
Karesidenan Banyumas diatur kembali oleh Pemerintah Hindia Belanda, yaitu hanya
terdiri dari empat kabupaten: Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Banyumas.
Pada waktu itu Kabupaten Purwokerto dihapus dan dilebur kedalam Kabupaten
Banyumas. 13 Ibu kota
karesidenan dan kabupaten Banyumas dipindahkan ke Purwokerto pada tanggal 26
Pebruari 1936. Pendapa Si Panji dipindahkan ke Purwokerto pada bulan Januari
1937.14
selamat siang mas,
ReplyDeletesaya boleh minta gambarnya yah lebih jelas???
terimas kasih sebelum dan sesudahnya