Tuesday, December 6, 2016

Historia Banyumasan

Sejarah Singkat Wirasaba hingga Karesidenan Banyumas

Sejarah Singkat Wirasaba sejak Era Demak, Pajang, Mataram Islam dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Sebagian besar wilayah Banyumas dahulu merupakan daerah mancanegara dari kerajaan-kerajaan Jawa sejak Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura hingga Kasunanan Surakarta.1 Daerah ini dipimpin oleh Adipati suatu sebutan yang lazim digunakan pada masa kerajaan Demak.2 Setelah perang Jawa (Perang Diponegoro, tahun 1825-1830), Kadipaten Banyumas dilepaskan dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tahun 1830.1 Sebelum Belanda masuk, wilayah Banyumasan disebut sebagai daerah Mancanegara Kulon dengan rentang wilayah meliputi antara Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo) sampai Majenang (sekarang masuk wilayah Cilacap).3
Sejarah Singkat Paguwan-Wirasaba
Pada zaman Majapahit di daerah Banyumas sudah terdapat suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang adipati atas daerah yang disebut Paguwan. Adipati daerah Paguwan (yang kelak juga dikenal sebagai Wirasaba) dipimpin oleh Adipati Wirahudaya yang berkuasa antara tahun 1413-1433.4  Wirahudaya selanjutnya digantikan anak angkatnya Raden Katuhu bergelar Adipati Anom Wirahutama kelak dikenal sebagai Adipati Wirahutama I Wirasaba. Raden Katuhu adalah putra R. Baribin yang menikah dengan Ratna Pamekas. Adipati Wirahutama oleh Madjapahit dijinkan memperluas wilayah kadipaten sampai ujung timur hingga lereng barat Gunung Sindoro Sumbing di Wilayah Kedu. Daerah ini dikenal sebagai Kadipaten Wirasaba.5
 Kemudian pemerintahan Kadipaten ini diteruskan secara turun-temuran selama enam generasi adipati meliputi (1) Adipati Wira Utama (Raden Katuhu), (2) Adipati Urang, (3) Adipati Sutawinata (Surawin), (4) Adipati Sura Utama (Raden Tambangan),(5) Adipati WargaUtama I, dan (6) Adipati Warga Utama II (Adipati Mrapat) hingga pada zaman Kesultanan Pajang.4,6
Pada masa pemerintahan Sultan Pajang I, Hadiwijaya (1546 1582) ini, di Wirasaba sudah sampai pada masa pemerintahan Adipati Wirasaba VI, yaitu R. Bagus Suwarga dengan gelar R. Adipati Wargahutama I. Suatu ketika adipati wirasaba mendapat titah raja agar mempersembahkan salah seorang putrinya untuk di jadikan garwa ampean Sultan Pajang atau Pelara-lara. Rara Kartiyah dipersembahkan  oleh Adipati Wirasaba  Rara Kartiyah semasa kecilnya pernah di jodohkan dengan putra saudaranya yaitu Kyai Gede Toyareka namun   berpisah sebelum melakukan kewajiban sebagai seorang istri.7
Sultan Hadiwijaya sangat murka setelah menerima pengaduan kyai gede toyareka yang juga merupakan adik Wargahutama. Selanjutnya diutuslah  prajurit (gandek) untuk menyusul adipati wirasaba dan membunuhnya. Seteleh ki gede toyareka pergi dari pajang, sultan hadiwijoyo memanggil roro kartiyah meminta penjelasan, mendengar pernyataan roro kartiyah sultan hadiwijoyo sangat menyesal akan tindakanya tanpa penelitian, segera di perintahkan patihnya agar menyusul prajurit yang diutus membunuh adipati wirasaba agar membatalkannya.7
Tidak lama utusan sultan pajang yang di utus untuk membunuh adipati wirasaba bertemu dengan adipati wirasaba,ketika itu adipati wirasaba sedang makan , di kediaman kyai bener, duduk di serabi rumah dengan lauk nasi dan pindang angsa/banyak pada hari sabtu pahing.7 tidak lama kemudian utusan patih dari sulatn pajang tiba dan melambaikan tangan, isarat tersebut di salah artikan dan utusan pertama langsung menusukan tombak ke dada adipati wirasaba.7
Setelah kematian Adipati Warga Utama I, Sultan Pajang Adiwijaya segera memanggil putera Adipati Warga Utama I, namun tidak ada yang berani menghadap. Maka menantu Adipati yaitu Raden Joko Kaiman (suami R. Rara Kartimah) memberanikan diri untuk menghadap dengan menanggung apapun segala resikonya. Bukan amarah dan murka yang di dapat tetapi anugerah dijadikannya Adipati dengan gelar Adipati Warga Utama II.5 Selanjutnya atas kemurahan Sultan Pajang akhirnya Wirasaba dibagi menjadi empat yaitu :
1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar kemudian dikuasai Adipati Warga Utama II.5
Wilayah Kejawar kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli kelak diberi nama Kadipaten Banyumas. Atas pembagian ini maka Adipati Warga Utama II juga bergelar sebagai Adipati Mrapat.8

Sejarah Singkat Kadipaten Kejawar- Banjumas
Setelah Adipati Mrapat wafat selanjutnya kekuasaan digantikan oleh puteranya secara turun temurun. Berturut-turut : Mertasura I, Mertasura II (  -1620),   Mertayuda I (1620 – 1650).8 Tumenggung Martayudha menurunkan Raden Tumenggung Mertanegara atau Mertayuda II yang menjadi Adipati Banyumas bergelar Adipati Yudanegara I (1650-1705).9  Kelak Adipati Yudanegara I dikenal sebagai Tumenggung Yudanegara Seda Masjid pasca dihukum penggal oleh Pakubuwono. Pengganti Yudanegara I adalah Tumenggung Suradipura (1705 -1707).8
Pada pemerintahan adipati Yudanegara II (1707 – 1743), dipindahkan dari Kejawar ke tempat yang disebut Geger Duren dan mendirikan Pendopo Si Panji pada tahun 1706. Pedukuhan yang bernama Geger Duren atau punggung durian karena tempat itu merupakan lembah yang diapit dua gunung yang berada sebelah timur Dusun Menganti (Banyumas sekarang ini).10 Banyumas lama kini menjadi Dusun Karangkamal.4 Kelak Adipati Yudanegara II dikenal sebagai Tumenggung Yudanegara Seda Pendapa.
 Yudanegara II digantikan oleh  Tumenggung Reksapraja (1742 -1749).8 Bagus Kunting selanjutnya menggantikan Reksapraja dan bergelar Adipati Yudanegara III. Yudanegara III turut serta dalam  Perang Mangkubumen di pihak Paku Buwono. Setelah perjanjian Giyanti 1755 Yudanegara III diangkat menjadi Patih mendampingi Hamengku Buwono I dan bergelar Danureja.11
Yudanegara IV menggantiikan posisi yang ditinggalkan Yudanegara III. Karena dicurigai akan memberontak Yudanegara IV dipecat dari jabatanya dan digantikan Tumenggung Toyakusuma dari Surakarta.11 Sumber lain menyebut  Tejakusuma atau Tumenggung Kemong yang memerintah tahun1780 -1788.8 Nasib yang sama juga dialami oleh Yudanegara V (1788 – 1816). Yudanegara V dipecat oleh PB IV atas tuntutan Raffles. 8,12,13
Pasca pemecatan Yudhanegara V terjadi  kekosongan kekuasaan di Kadipaten Banyumas, sehingga pada tahun 1816 Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang kembali menguasai Nusantara setelah pemerintahan transisi Inggris. Pada tahun 1816 wilayah Banyumas dibagi menjadi dua yaitu Kasepuhan dan Kanoman.13 Cakrawedana  ditunjuk memimpin Kasepuhan dan Mertadiredja I memimpin Kanoman.12

Sejarah Singkat Kadipaten Kasepuhan dan Kanoman
Untuk mempermudah pemahaman sejarah penulisan bagian ini diawali dari sejarah Kanoman Banyumas dilanjutkan sejarah kasepuhan Banyumas dan diakhiri penggabungan kedua wilayah tersebut. Dikutip dari Priyadi (2008), Banyumas sebagai daerah mancanegara kilen diambil alih oleh Pemerintah Belanda setelah Perang Mangkubumi  dan dibentuk Karesidenan Banyumas. Kasepuhan dan Kanoman yang dipimpin oleh dua pejabat wedana bupati.14 Kasepuhan Banyumas beribukota di Banyumas diserahkan kepada Tumenggung Cakrawedana (1816-1830) dari Surakarta sebagai Wedana Bupati. Kanoman Banyumas yang beribukota di Patikraja dengan Bratadiningrat sebagai Wedana Bupati yang kemudian bergelar Adipati Mertadireja I (1816-1830).13
Setelah Mertadireja I wafat, ditunjuklah Mertadireja II sebagai Wedana Bupati Banyumas Kanoman di Patikraja dari 1830-1831 dengan gelar K.P.A. Mertadireja II. Beliau kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kanoman dari Patikraja ke Ajibarang (1831-1832).13  Ajibarang  pada akhir Perang Jawa dipimpin oleh Tumenggung Djayasinga  yang dikenal juga dengan nama Singadipa. Singadipa adalah orang Banyumas yang menjadi anak buah Pangeran Diponegoro. 14
Pemerintahan di Ajibarang hanya berlangsung dari tanggal 22 Agustus 1831 hingga 6 Oktober 1832.14 Karena adanya bencana angin topan selama 40 hari 40 malam ibu kota Kabupaten Ajibarang dipindahkan ke desa Paguwon distrik Purwokerto.14 Pemindahan yang kedua ini mengganti nama Kadipaten Kanoman Banyumas menjadi Kabupaten Purwokerto.13
Sepeninggal K.P.A. Mertadireja II, untuk sementara ditunjuk menantunya, Tumenggung Djayadiredja (1853-1860). Tahun 1860 beliau dipindah ke Padang. Sehingga jabatan Bupati Purwokerto dijabat oleh putera K.P.A. Mertadiredja II, yaitu K.P.A. Mertadiredja III (1860-1879)13 yang kelak setelah dipindahkan ke kabupaten Banyumas dikenal sebagai K.P.A. Aria Gandasubrata.13 Tumenggung Cokrosaputro adik Cokronegoro II mantan bupati Banyumas menggantikan untuk memimpin kabupaten Purwokerto pada tahun 1879 – 1882. Selanjutnya tahun 1882 jabatan bupati Purwokerto kosong hingga tahun 1885. Kekosongan jabatan Kabupaten Purwokerto sementara diisi oleh Patih Wiraatmadja.14
Raden Mas Tumenggung Cakrakusuma putra Cakranegara II mengisi jabatan pada tahun 1885 – 1905. Selanjutnya Tumenggung Cakranegara III yang merupakan adik Cakrasaputra mengisi jabatan pada tahun1905 – 1920.14  Kabupaten Purwokerto terakhir dipimpin R.A.A. Cakraadisurya (1924-1935).13 Cakraadisurya adalah putra Raden Cakranegara yang sebelumnya menjabat bupati Ponorogo,14
Kasepuhan Banyumas yang diawali dengan kepemimpinan  Cakrawedana sejak tahun 1816 dan berakhir di tahun 1830 setelah Perang Diponegoro.13 Cakrawedana selanjutnya digantikan oleh R. Adipati Cokronegara I (1832- 1864).8 Cakranegara II memimpin Kabupaten Banyumas pada tahun 1864-1879. Cakranegara II digantikan oleh Martadiredja II yang sebelumnya menjabat Bupati Purwokerto. Martadiredja III menjabat di Kabupaten Banyumas pada tahun 1879-1913 dan selanjutnya bergelar K.P.A.A. Gandasubrata.11
Karena alasan memasuki masa pensiun Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengangkat putera Gandasubrata yaitu Sudjiman Mertasubrata Gandasubrata sebagai Bupati Banyumas. Sudjiman Mertasubrata Gandasubrata saat itu sedang menjabat sebagain Patih di Kabupaten Kendal. Pada tahun 1939, oleh pemerintah Belanda gelarnya ditambah menjadi ‘Adipati’ sehingga namanya menjadi, R. Adipati Sudjiman Mertasubrata Gandasubrata mendampingi  Residen Banyumas Mr. J. Ruys.13
Pada tanggal 1 Januari 1936 Kabupaten Purwokerto dihapus dan digabung ke dalam Kabupaten Banyumas. Selanjutnya bukota Kabupaten Banyumas ditetapkan di Purwokerto. Sedangkan Banyumas ditetapkan sebagai ibukota Karesidenan Banyumas untuk sementara karena di kota Purwokerto belum ada fasilitas untuk kantor karesidenan dan rumah dinas residen.13




Sejarah Singkat Banjar Pertambakan, Banjar Watulembu hingga Banjarnegara
Pada pemerintahan Yudanegara I, Ngabei Banyakwide di angkat menjadi Kliwon Banyumas yang selanjutnya ditugaskan di Banjar Pertambakan. Sumber lain menyebutkan bahwa Banyakwide adalah Adipati Banjar Petambakan I sesudah pemerintahan Ngabei Wirayuda.9
Banyakwide mempunyai putra: 1. Kyai Ngabei Mangunyuda. 2. R. Kenthol Kertayudha. 3. R. Bagus Brata. 4. Mas Ajeng Basiah.9 Mangunyudha menggantikan ayahnya dan menjadi Adipati Banjar Pertambakan dengan gelar Adipati Mangunyudha I dan di kenal sebagai Mangunyuda Sedaloji karena gugur di Loji  Belanda Kertosuro pada peristiwa Geger Pecinan (1743).15 Mangunyudha I dimakamkan di Banjar Petambakan. Mangunyudha I digantikan oleh adiknya R. Kenthol Kertayudha dengan Gelar Hadipati Mangunyudha II. Seperti tertulis dalam Fauziah (2012), pada kepemimpinan Mangunyudha II  pusat pemerintahan dipindahkan ke Banjar Watu Lembu (sekarang Banjarmangu).9
Mangunyuda II juga dikenal sebagai Tumenggung Kertanegara III atau Mangunyuda Mukti. Mangunyudha II digantikan oleh puteranya, Ngabei Mangunyudo III yang kemudian berganti nama menjadi Ngabei Mangunbroto. 16 Setelah perang Diponegoro Kabupaten Banjar Watulembu diturunkan statusnya menjadi Distrik. Pada tahun 1831 Mangunbrata ditemukan meninggal dunia secara tidak wajar, yaitu bunuh diri dengan cara menusuk perutnya. Ngabei Mangunsubrata putra Mangunbrata dan Ngabei Ranudireja selanjutnya memimpin Distrik Banjar sebagai  dua penguasa.16
Dalam perang Diponegoro, Ngabei Dipayudha putra Dipayuda Seda Benda yang saat itu menjadi ngabei Ayah distrik Adireja karena jasanya di usulkan kepada Susuhunan Paku Buwana ke VII untuk ditetapkan mengisi Jabatan Banjar Watulembu (yang berkedudukan di Banjarmangu) yang telah di hapus statusnya. Resolutie Governuer General Buitenzorg tanggal 22 Agustus 1831 Nomor I, mengangkat Ngabei Dipayuda yang selanjutnya bergelar R.T. Dipayudha IV.9  Dalam tulisan Priyadi (2006), Mas Kadirman (nama kecil dari Dipayuda IV atau Dipayuda Banjarnegara) adalah putra Ngabehi Dipawidjaya yang menikah dengan putri Dipayuda II Seda Banda.17 Dipawijaya (nama kecil Bagus Gugu setelah pensiun dikenal sebagai Dipamenggala) adalah anak bungsu Dipayuda I Seda Jenar.10  Ngabehi Dipadiwirya  seorang Demang di Ngayah-Adireja  juga adik Dipayuda IV selanjutnya diangkat menjadi Patih Banjar Watulembu.18  
Pada era Dipayudha IV ini pusat pemerintahan dipindahkan ke Selatan Sungai Serayu di daerah pesawahan yang cukup lebar (Banjar) dan di namakan  Banjarnegara (Banjar= sawah; Negara= kota).9 Dipayuda IV menjabat Bupati sampai tahun 1846 kemudian diangkatlah Raden Adipati Dipadiningrat sebagai penggantinya.16  Dipadiningrat memerintah hingga pensiun tahun 1878, setelah itu digantikan oleh Mas Ngabehi Atmadipura Patih Kabupaten Purworejo yang setelah menjadi bupati di Banjarnegara bergelar Tumenggung Jayanegara I. Pada saat ia memerintah, pada tahun 1884 sistem irigasi modern pertama di bangun di Banjarnegara dan diberi nama irigasi Singamerta.16

Sejarah Singkat Merden, Onje, Prabalingga hingga Purbalingga
Daerah Merden (wilayah ex Kawedanan Purworejo Klampok) ini pernah menjadi bagian dari Kadipaten Wirasaba sebelum dibagi empat pada kepemimpinan Wargahutama. Selanjutnya daerah Merden dipimpin Wira Kusuma  putra ke 2 Wargahutama I. Wira Kusuma juga dikenal sebagai oleh Ki Gede Senon sehingga pada versi lain nama Merden juga dikenal sebagai Senon. Tidak ada catatan sejarah yang lengkap sehingga pembahasan merden tidak bisa mendalam. Menurut sumber yang ada di era Yudanegara III diangkatlah Bagus Demang sebagai Ngabehi Merden. Bagus Demang masih terhitung sebagai adik Yudanegara III. Sumber lain juga menyebutkan Bagus Luwar putra Dipayuda Seda Jenar setelah dewasa bernama Kertayuda mendapat kedudukan di Marden.17 Kertayuda meninggal di era Dipayuda III. Merden selanjutnya di bawah kepemimpinan Tumenggung Karang Lewas hingga terbentuknya Kabupaten Purbalingga. Dan di tahun 1936, distrik Purwareja-Klampok (Wilayah Merden) dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara.
Wisnandari (2007) dalam karangan ilmiahnya menyebutkan tentang pengangkatan Ki Ageng Ore-ore sebagai Adipati Onje pertama oleh Sultan Pajang Hadiwijaya dan daerah Onje (sekarang terletak di daerah Kecamatan Mrebet). Dalam telaah yang sama disebutkan selain diangkat menjadi Adipati Onje juga mendapatkan istri dan punakawan. Putra Adipati Onje bernama Wiraguna dari istri yang berasal dari daerah Onje diangkat sebagai Patih Onje.19  Selanjutnya setelah wafatnya Adipati Onje I putra tiri dari istri yang berasal dari Pajang menggantikan sebagai Adipati Onje II atau dikenal sebagai Adipati Anyakrapati.19 Catatan lain juga menyebutkan di akhir Perang mangkubumi, Kadipaten Onje yang dibawah kekuasaan Surakarta selanjutnya dijadikan perdikan dibawah Merden oleh PB I.  Pada saat itu yang memimpin Merden adalah Ngabei Dhenok. Menurut Priyadi (2006) Ngabei Denok adalah Ngabehi Dipayuda I.20 Namun versi lain menyebutkan Ngabehi Denok adalah Bagus Demang sedangkan Dipayuda I memimpin daerah Karang Lewas. Bagus Demang dan Dipayuda I adalah anak dari Yudanegara II. Dari daftar silsilah yang dimiliki penulis, Yudanegara III, Bagus Demang dan Dipayuda I adalah kakak beradik beda Ibu. Onje, Merden dan Karang Lewas diduga berada di bawah pemerintahan Banyumas yang dipimpin Yudanegara III. Onje, Merden dan Karang Lewas menjadi wilayah Banyumas terjadi diduga sejak era Yudabangsa (Yudanegara I).
Adipati Onje II memiliki putra bernama Arsakusuma kelak dewasa bernama Arsantaka. Arsantaka menikahi 2 orang perempuan. Istri pertama berasal dari daerah merden dikenal sebagai Nyai Merden dan istri kedua bernama berasal dari daerah Kedung lumbu dikenal sebagai Nyai Kedung Lumbu.
Arsantaka menjadi demang di Kademangan Pagendolan (sekarang desa Masaran), suatu wilayah yang masih berada dibawah Karanglewas (sekarang kecamatan Kutasari, Purbalingga) yang dipimpin oleh Dipayuda I pada kurun waktu 1740 – 1760.16 Dalam perang jenar, Arsantaka berada didalam pasukan kadipaten Banyumas yang membela Paku Buwono.
Kedudukan Dipayuda I selanjutnya digantikan putera dari Tumenggung Yudanegara III dengan gelar Tumenggung Dipayuda II.  Atas jasanya menemukan jenazah Dipayuda I dalam Perang Jenar oleh Raden Tumenggung Yudanegara III kemudian diangkat menjadi Umbul Demang (kepala demang). Yudanegara III  juga mengambil menantu putera Arsantaka dari istri pertama yaitu Arsayuda. 21 Bahkan Arsayuda anak Arsantaka diangkat menjadi Patih Karanglewas mendampingi Dipayuda II.20
Karena sakit-sakitan, Raden Tumenggung Dipayuda II, tidak lama menjabat Ngabehi Karanglewas (tahun 1755-1758).21 Kelak Dipayuda II dikenal sebagai Dipayuda Seda Benda. Patih Arsayuda diangkat sebagai pengganti Dipayuda II sebagai Tumenggung Karanglewas dengan bergelar Dipayuda III (1759-1787). Pada era Dipayuda III pusat pemerintahan dipindah dari Karanglewas ke desa Prabalingga. 16 Dipayuda III menjadi pemimpin daerah yang kelak dikenal sebagai Purbalingga. Putera Arsantaka  dari istri kedua yaitu Mas Candrawijaya  kemudian hari diangkat menjadi Patih Purbalingga.
Dipayuda III digantikan Ngabehi Yudakusuma putra Yudanegara IV sebagai pejabat sementara (1787-1792). Selanjutnya pemerintahan digantikan putra Dipayuda III dari garwa selir yaitu Tumenggung Dipakusuma I. Dipakusuma I diangkat dan menjabat pada tahun 1792-1811. Dipakusuma digantikan Tumenggung Bratasudira pada tahun 1811-1831. Bratasudira adalah putra Dipakusuma I yang juga dikenal sebagai Danakusuma.
Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Tumenggung Dipakusuma II diangkat yang menjabat pada kurun waktu 1831-1846. Selanjutnya berturut turut digantikan oleh Dipakusuma IV (1868-1883) dan Dipakusuma V atau dikenal sebagai Kanjeng Candiwulan (1883-1899). Dipakusuma V  digantikan oleh Tumenggung Dipakusuma VI yang menjabat pada tahun 1899-1925.

Era Karesidenan Banyumas dan Transisi Dayeuh Luhur menjadi Cilacap
Perang Jawa atau dikenal dengan Perang Diponegoro (1825-1830) menyebabkan terjadinya perubahan hubungan patron-klien dari kekuasaan Mataram (Surakarta) beralih ketangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.22  Terhitung sejak 22 Juni 1830 daerah mancanegara Kulon ini secara politis masuk di bawah control pemerintah kolonial Hindia-Belanda.23 Peningkatan status Banyumas dari Kadipaten menjadi Karesidenan telah membuat perubahan dalam sistem perpolitikan Banyumas dimana sebelumnya bupati menjadi penguasa tertinggi di kadipaten berganti menjadi residen yang dibantu oleh asisten residen yang dijabat oleh Bangsa Belanda.13
Pemerintahan di wilayah Banyumas diatur berdasarkan Konstitusi Nederland yang pada pasal 62 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintahan umum di Hindia Belanda dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal adalah kepala eksekutif yang berhak mengangkat serta memberhentikan para pejabat di Hindia Belanda, termasuk para Adipatinya.3 Gubernur Jenderal Johannes Graaf van den Bosch (1830-1833) membuat surat keputusan berupa rencana pembentukan Karesidenan, afdeeling, dan kabupaten di Karesidenan Banyumas tertanggal 18 Desember 1830 yang hanya menyebut empat kabupaten, yaitu Banjoemas (Banyumas), Adji-Baran (Ajibarang), Daijoe-Loehoer (Dayeuhluhur), dan Prabalingga (Purbalingga).14
Karesidenan Banyumas diperluas dengan memasukkan Distrik Karang Kobar, Pulau Nusa Kambangan, Madura (sebelumnya masuk wilayah Cirebon) dan karangsari (sebelumnya masuk wilayah Tegal).23
Kemudian dengan adanya Resolutie Governuer General Buitenzorg tanggal 22 Agustus 1831 Nomor I salah satunya tentang pembentukan Kabupaten Banjarnegara, Struktur pemerintahan di wilayah Banyumas mengalami perubahan dan perombakan secara total. Wilayah Banyumas dibagi menjadi lima kabupaten dan saat itulah dimulainya jabatan Residen dan Asisten Residen yang dijabat oleh orang Belanda di Banyumas 22 Resolutie van den 22 Agustus 1831, No.1 telah diangkat 5 orang pejabat bupati di Karesidenan Banyumas, yakni (1) Ngabehi Cakranegara dari Purwokerto diangkat menjadi bupati Banyumas, (2) Raden Tumenggung Mertadiredja II, Wedana Bupati Kanoman Banyumas diangkat menjadi Bupati Ajibarang, (3) Ngabehi Dipayuda dari Ngayah diangkat menjadi Bupati Banjarnegara, (4) Tumenggung Prawiranegara tetap di Dayeuhluhur, dan (5) Tumenggung Dipakusuma tetap di Purbalingga.14
Karena dianggap memihak P. Diponegoro Tumenggung Prawiranegara dipecat dari kedudukannya dan kemudian dibuang ke Pulau Banda. Sesuai dengan surat Asisten Residen Ajibarang pada tanggal 24 Oktober 1831 no 184, Bupati Ajibarang diberi kuasa Kabupaten Dayu-Luhur. Lowongan jabatan Bupati Dayu-Luhur ditiadakan sehingga Kabupaten Dayu Luhur bersama Kabupaten Ajibarang merupakan satu Afdeling Ajibarang dengan ibukota Ajibarang. Kabupaten Dayu-Luhur yang baru 2 bulan dikukuhkan, merosot statusnya menjadi Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur.24 Pada tahun 1832 terjadi pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Ajibarang ke distrik Purwokerto yang selanjutnya disebut sebagai Kabupaten Purwokerto.13
Pada tahun 1841 Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur dipisahkan dari Kabupaten Purwokerto dan Distrik Adireja dipisahkan dari Kabupaten Banyumas, dan dijadikan satu Afdeling tersendiri yaitu Afdeling Cilacap dengan ibukota Cilacap.24 Selanjutnya dalam Staatblad No.113 tahun 1883 Regentie Banjoemas (Karesidenan banyumas) terdiri dari regentschap/ afdeling sebagai berikut : 1. Banjoemas (Banyumas), 2. Poerwakerta (Purwokerto), 3. Poerbalingga (Purbalingga), 4. Bandjarnegara (Banjarnegara) dan 5. CilaCap(Cilacap).
Pada tanggal 1 Januari 1936  wilayah Karesidenan Banyumas diatur kembali oleh Pemerintah Hindia Belanda, yaitu hanya terdiri dari empat kabupaten: Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Banyumas. Pada waktu itu Kabupaten Purwokerto dihapus dan dilebur kedalam Kabupaten Banyumas. 13 Ibu kota karesidenan dan kabupaten Banyumas dipindahkan ke Purwokerto pada tanggal 26 Pebruari 1936. Pendapa Si Panji dipindahkan ke Purwokerto pada bulan Januari 1937.14






1 comment:

  1. selamat siang mas,


    saya boleh minta gambarnya yah lebih jelas???

    terimas kasih sebelum dan sesudahnya

    ReplyDelete