Showing posts with label WIRASABA. Show all posts
Showing posts with label WIRASABA. Show all posts

Tuesday, December 13, 2016

Dipayudan dan Dipadiwiryan Banjarnegara



Trah Wirasaba berlanjut menjadi Trah Yudanegaran. Trah tersebut selanjutnya bercabang menjadi Trah Dipayudan dan Dipadiwiryan merupakan keturunan Dipayuda I Seda Jenar.  Trah Dipayudan dan Dipadiwiryan berawal dari garis keturunan Dipamenggala yang menikah dengan putri Dipayuda II Seda Benda. Dipamenggala  putra ketiga dari Dipayuda Seda Jenar. Dipamenggala merupakan nama pensiun dari Dipawijaya sedangkan nama kecil Dipamenggala adalah Bagus Gugu. Saat Dipamenggala dewasa beliau mengabdi kepada patih Danureja di Yogyakarta. Dipamenggala memiliki putra diantaranya adalah Jaka Kardiman yang kelak menjadi bupati I Banjarnegara bergelar Dipayuda IV (Dipayuda Banjar) dan Dipadiwirya (Patih Banjarnegara). Dipayuda Banjar selanjutnya menurunkan cabang trah Dipayudan. Dipadiwiryan selanjutnya menurunkan cabang trah Dipadiwiryan danranting trah Wiryaatmadjan (Patih Purwokerto)

Monday, December 12, 2016

Seratan Alit Sarasilah Wirasaban Banyumas



a.         Wirasaba identik dengan Paguhan yang secara berangsur-angsur berubah menjadi Paguwon atau Peguwon. Desa Paguwon sebagai sisa-sisa kadipaten Wirasaba yang sekarang terletak di kota Purwokerto.1 Versi lain adalah legenda Kiai Kartisara yang memiliki putra Kartisara, yang bernama Kendang Gumulung, yang memiliki perguron.  Menurut Koderi, 1991 dalam tulisan yang dikutip dari tulisan Priyadi 2008, Kata perguron ditafsirkan secara berangsurangsur berubah menjadi Peguwon. Tafsir legenda tadi tampaknya kurang memahami bahwa di Banyumas terdapat kerajaan bawahan Majapahit, yaitu Paguwan atau Peguwon, suatu nama yang bergeser dari ucapan Paguhan. Paguwon dalam teks-teks Babad Banyumas disebut kerajaan atau kadipaten Wirasaba.1
b.         Bacaan yang tepat untuk nama kota Purwokerto adalah Purwakerta. Bagi orang perdesaan Banyumas di sebelah selatan Serayu, kata Purwakerta akrab dibaca Puraketa, Praketa, atau Prakerta. Versi lain adalah legenda Kiai Kartisara yang  mengusulkan nama Purwakerta. Suatu nama yang tentu sangat dekat dengan nama tokoh legendaris tersebut.1
c.         Kata Toyamas merupakan bentuk krama dari Banyumas. Dalam tradisi Jawa, khususnya pada naskah Jawa, terdapat kebiasaan untuk mengkramakan nama-nama tempat (toponim), seperti Semarang menjadi Semawis, Mataram menjadi Matawis atau Ngeksiganda.2
d.         Sebutan untuk pemimpin di masa lalu adalah Kuwu atau Akuwu. Kata Kuwu merupakan sebutan pemimpin suatu wilayah pemerintahan kuno di Jawa. Sebutan Kuwu diganti menjadi Adipati pada masa kerajaan Demak. Kelak di tahun 1830an oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda digunakan istilah Regen atau Bupati seperti yang kita kenal sekarang. …….dat Madjapahit en het oude geloof waren  verdwenen en hadden plaats gemaakt voor het Sultanaat van Demak en de leer van den **** ......die koewoe van **** was, vergund werd den titel te voeren van Adipati van ****,…… (TIJDSCHRIFT VOOR INDISHCHE TAAL – LAND – EN VOLKENKUNDE DEEL XLIII BATAVIA 1901 HALAMAN 423)3
e.         Nama alit dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) nama yang diberikan orang tua kepada anak pada waktu selamatan sepasaran ‘usia lima hari’ atau puputan ‘tanggalnya tali pusar’, dan (2) nama yang diberikan kepada anak sebagai pengganti nama sebelumnya karena sakit-sakitan, tertimpa musibah, dan sebagainya (Setjadrana dalam Riyadi, 1999:80). nama sepuh dapat dibedakan menjadi dua pula, yakni (1) nama yang diberikan sehubungan dengan pernikahan, dan (2) nama yang diberikan berkenaan dengan kedudukan atau jabatan tertentu. Dalam etnis Jawa ketika orang menjadi semakin berumur mereka akan memilih nama yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisinya. Mungkin nama itu disesuaikan dengan pekerjaannya, jabatannya, atau mungkin juga disinkronisasikan dengan tokoh yang dikagumi.2
f.          Toyareka bukanlah nama asli, tetapi nama rekaan. Tokoh Demang Toyareka sering disebut dengan nama Raden Bagus Joko Suwarjo. Kadangkala Toyareka disebut juga Banyureka. Toyareka adalah pembawa fitnah yang memulai segala peristiwa. Toya artinya banyu dalam klasifikasi berada di sebelah timur. Timur adalah awal mula peristiwa sebagaimana matahari terbit dari timur.
g.         Dalam versi yang lain disebutkan wirasaba dibagi menjadi empat yaitu Wirasaba, Senon, Toyareka dan Pasir.4
h.         Bratadiningrat (Adipati Mertadireja I) adalah cucunda dari Tumenggung Yudhanegara III, putera Ngabehi Singasari dari desa Kedungrandu, Patikraja. Setelah Yudhanegara III menjabat sebagai Patih Ngayogyakarta Hadiningrat, keturunannya yang masih tinggal di Banyumas kemudian meneruskan trah Yudanegaran dengan nama trah Mertawijaya, melanjutkan nama muda dari Yudhanegara III. Sedangkan, keturunan yang berada di Ngayogyakarta Hadiningrat keturunannya disebut trah Danurejan.5
i.           Tumenggung Sokaraja, Bratadimedja diangkat sebagai pengganti Martadiredja I dengan gelar nunggak semi Mertadiredja II. Raden Adipati Mertadiredja II berdasarkan Resolutie No. 1 tertanggal 22 Agustus 1831 menjabat bupati Ajibarang yang secara legenda menggantikan Tumenggung Jayasinga dengan wilayah meliputi distrik Purwokerto, Ajibarang,Jatilawang, dan Jambu (Atmodikoesoemo, 1988: 85).1
j.           Purbalingga sebenarnya dari Prabhalingga yang berarti sinar lingga karena di Purbalingga banyak ditemukan lambang Siwaistis berupa lingga. Nama Prabhalingga sering dibaca sama dengan Probolinggo di Jawa Timur sehingga akhirnya diganti Purbalingga  bacaan berdasarkan bahasa Jawa baku yang disebut bahasa Jawa Yogya-Solo.1
l.           Akibat Pakubuwono II terhasut oleh Patih Kraton yang mengatakan bahwa Yudanegara II meninggalkan Ngabehi Mangunyuda  ketika keduanya terjebak dalam pertempuran di Loji VOC. Peristiwa ini mengakibatkan tewasnya Ngabehi Mangunyuda. Akibatnya Pakubuwono II marah besar dan menjatuhkan hukuman mati kepada Yudanegara II. Panji Gandasubrata (Bagus Kunthing) putra Yudanegara II yang tinggal di Keraton Surakarta bersama neneknya, diam-diam mengirim utusan kepada ayahnya untuk memberi kabar. Adipati Yudanegara II pun terkejut dan sangat kecewa sampai meninggal mendadak dihadapan pejabat Kadipaten Banyumas yang tengah menghadap di Pendopo Si Panji.6
m.        Untuk mengatur pemerintahan di wilayah Jawa, Raja Louis Bonaparte atas nama Kaisar Napoleon Bonaparte kemudian menunjuk Herman Willem Daendels (1808-1811) untuk mengantikan Albertus Henricus Wiese (1805-1808) sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan kemudian diganti oleh Jan Willem Janssens (1811), dengan tugas mempertahankan Jawa dari serangan Kekaisaran Inggris.5

Sunday, December 11, 2016

Daftar Bupati Banyumas

Berikut ini adalah daftar Bupati Banyumas. Setelah Wirasaba dibagi empat pada era Pajang hingga akhir pemerintahan dinasti Yudanegara, Wilayah Banyumas selanjutnya dibagi menjadi Kanoman dan Kasepuhan dengan dua wedana Bupati pada masing-masing wilayah. Tampak ranting cabang trah Martadireja dan trah Cakrawerdanan  silih berganti mengisi tampuk pimpinan.
Hubungan trah Martadirejan, Cakrawedanan dan Wirasaban dapat dilihat pada gambar dibawah ini :


Friday, December 9, 2016

Dipayuda : Karang Lewas, Purbalingga dan Banjarnegara





Dipayuda adalah nama yang lekat dengan dua kota. Banjarnegara dan Purbalingga adalah kota yang tidak bisa dipisahkan dari nama Dipayuda. Dulu banyak orang mengira bahwa Dipayuda adalah dinasti yang berkuasa di dua kota ini. Dulu juga banyak yang mengira bahwa merupakan nama trah. Setidaknya ada empat nama yang menjadi bagian dari sejarah dua kota ini. Dipayuda I, II dan IV masih keturunan langsung trah Wirasaba sedangkan  Dipayuda III bukan keturunan langsung dari Wirasaba.

 Dua Dipayuda pertama berhubungan dengan Trah Yudanegara yang memerintah di Karang Lewas (sekarang kecamatan Kutasari, Purbalingga).

Dipayuda I memimpin Karang Lewas pada kurun waktu 1740 – 1760.1 Dipayuda I gugur pada usia muda di Perang Jenar sehingga dikenal dengan nama anumerta Dipayuda  Seda Ngrana atau Dipayuda Seda Jenar.2 Kedudukan Dipayuda I selanjutnya digantikan kemenakan Tumenggung Yudanegara III dengan gelar Dipayuda II. Dipayuda II hanya 3 tahun memerintah Kabupaten Purbalingga, meninggal se- telah beberapa lama menderita sakit kelamin (Jawa: paja- leran), dan selanjutnya biasa disebut orang Dipayuda Seda Banda.3
Karena sakit-sakitan,   Dipayuda II  tidak lama menjabat Ngabehi Karanglewas (tahun 1755-1758).4 Kelak Dipayuda II dikenal sebagai Dipayuda Seda Benda. Dipayuda III adalah Patih Karang Lewas bernama Arsayuda yang diangkat sebagai pengganti Dipayuda II kemudian bergelar Dipayuda III (1759-1787). Arsayuda adalah anak dari Arsantaka demang di Pagendolan (sekarang desa Masaran), suatu wilayah yang masih berada dibawah Karanglewas. Arsantaka adalah orang yang berjasa pada perang Jenar dan yang menemukan jenazah Dipayuda I yang gugur pada perang jenar. Pada era Dipayuda III inilah pusat pemerintahan dipindah dari Karanglewas ke desa Prabalingga (Cikal bakal kabupaten Purbalingga).1 Dipayuda IV yang memiliki nama kecil Mas Kadirman adalah putra Ngabehi Dipawidjaya yang menikah dengan putri Dipayuda II Seda Banda.5 Dipawijaya adalah anak bungsu Dipayuda I Seda Jenar.6 
Mas Kadirman  menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ngabehi  Ngayah dan pernah menguasai separuh wilayah yang kelak dikenal sebagai kabupaten Purbalingga.7 Dipayuda IV dikenal sebagai  Dipayuda Banjarnegara. Dipayuda keempat adalah bupati yang memindahkan pemerintahan dari  Distrik Banjar (Banjar Watulembu) ke Selatan Sungai Serayu di daerah pesawahan yang cukup lebar (Banjar) dan di namakan  Banjarnegara (Banjar= sawah; Negara= kota).8